Mobil gue mengambil tempat istirahatnya tepat di depan gelanggang. Biasanya kalau kepala gue sedang penuh, gue nggak akan bisa bertindak dengan tenang. Gue keluar dari dalam mobil hanya untuk mendapat pemandangan tas yang isinya sudah tercecer ke segala arah —karena gue lupa menutup resletingnya.
Gue menghela napas kasar, "Demi Tuhan, Kebiasaan banget dah." racau gue sembari memunguti isinya.
ㅤ “Pelan-pelan makanya." suara seseorang dengan langkah yang cepat dan gerakan yang tergesa membantu gue memunguti sisa barang yang masih tercecer di aspal.
Itu Joanne.
Suaranya, sepatu putih kotornya dan celana robek-robek yang sangat Joanne membuat gue mengangkat kepala.
ㅤ “Lo Joanne?" tanya gue. Tas yang berada di tangan gue ditarik pelan, dengan tangkas dia memasukkan semua barang itu ke dalam tas gue. Dia mengangguk.
ㅤ “Iya lah, emang ada lagi yang bakal ke sini selain gue jam segini pagi?" Tanyanya dengan nada nyolot. Oke beneran dia.
ㅤ “Lo, ke mana aja?" Tanya gue yang masih menatapnya lurus. Gue bisa merasakan perubahan gerakannya.
ㅤ “Nih, udah." ujarnya sembari menarik resleting tas gue dan memberikan benda itu.
ㅤ “Jo, jawab." ujar gue panjang.
ㅤ “Lo, semangat latihannya, ya. Maaf gue ngilang lima hari ini. Gue sibuk ngurusin beberapa hal," ujar dia ketika kami sudah berdiri.
ㅤ “Lo nggak latihan hari ini?" tanya gue membuat air wajahnya sedikit berubah, namun kemudian dia hanya balas tersenyum.
ㅤ “Nggak, gue nggak akan latihan lagi, Sam."
ㅤ “Kenapa, Jo?" dia nggak menjawab, kepalanya ditundukkan sembari kakinya memainkan kerikil kecil yang ada di sana. Gue nggak bisa dengan jelas melihat wajahnya.
ㅤ “Jo, kenapa?" ulang gue sekali lagi, "Lo pindah?"
Dia mendongakkan kepalanya. Bisa gue liat bahwa bulir keringat jagung memenuhi wajahnya. Kepalanya bergerak naik turun, tanda dia mengiyakan pertanyaan gue.
Gue kayak kesamber petir, degup jantung gue bekerja dua kali lipat. Mungkin sebenernya gue nggak akan pernah siap dengan jawaban ini. Nyawa gue seolah diterbangkan ke atas.
Mungkin melihat gue menatapnya dengan tatapan kosong dan penuh tanya, dia melanjutkan, "Gue cedera berat, Sam."
Ada nada frustasi yang mendominasi suaranya.
ㅤ “Kata Dokter, skapula gue cedera parah. Dan kemungkinannya gede buat gue harus pensiun main Golf." lanjutnya dengan suara yang bergetar.
ㅤ “Berapa persen?"
ㅤ “Gue nggak tau, tapi kata Papa ini lebih parah daripada cederanya dia." itu besar. Gue menatap matanya. Ada banyak rasa kecewa, ada banyak sedih, ada banyak rasa gagal yang menjadi satu di sana.
ㅤ “Sampe lo harus pindah, Jo?"
Dia mengangguk, "Lo tau 'kan, jadi golfer itu hal yang gue pengen banget," dia tersengal, lalu melanjutkan dengan napas yang sedikit terputus-putus, "Megang trofi LPGA Tour dan main di lapangan Los Angeles, bikin gue nggak punya cita-cita selain itu—”
Sempat terputus karena dia harus menarik napasnya panjang, lalu dia melanjutkan dengan kekehan frustasi, “Makanya begitu semua ilang, gue nggak tau tujuan gue apa.”
Gue bertemu dengannya saat itu bahkan sebelum gue memutuskan untuk masuk club renang.
Joanne itu konsisten. Dari dulu dia selalu punya harapan yang dia pupuk dan lama kelamaan semakin besar di cabang ini. Joanne menaruh obsesi besar pada Golf.
Dan melihatnya sekarang, ini pertama kalinya gue melihat sisinya yang ragu. Tidak punya tujuan.
ㅤ “Gue... Gue mau pindah biar gue nggak kebayang-bayang sama lapangan golf rumah dan lapangan ini, Sam."
ㅤ “Karena tiap ngelihat semua hal yang ada hubungannya sama golf, rasanya semua hidup gue cuma ada gagal. Dan itu ngebuat gue benci sama semua hal,"
ㅤ “Gue kehilangan semuanya, Sam. Gue kehilangan semua kesempatan yang bisa gue raih cuma karena this goddamn shit."
Suaranya terdengar sangat frustasi. Suaranya terdengar sangat marah.
Gue membawanya kedekapan.
ㅤ “I wish I could take your place so that you can continue your dream, Jo." ujar gue membuatnya terkekeh.
Dia membalas pelukkan gue lalu menepuk tubuh gue, "Nggak lah, lo lanjutin semuanya. Lanjutin sampe lo bisa berenang di kejuaraan manapun."
Gue serius, Jo. Dibanding gue, lo yang lebih butuh badan yang sehat. Karena gue nggak mencintai renang sebesar lo mencintai Golf.
ㅤ “Latihan yang bener, ya! I have big expectations from you, Bro. Gue tunggu kabar baik lo lomba di Olympics," katanya membuat gue mengeratkan pelukan gue.
ㅤ “Lo bakal balik nggak, Jo?" tanya gue begitu dia melepaskan pelukan.
Dia berpikir sebentar, "Maybe? Kalau gue udah bisa nggak histeris tiap liat PGA live, mungkin gue bakal balik lagi ke sini," ujarnya. Nggak tau kenapa, gue bernapas lega.
ㅤ “Gue hapus akun Instagram sama Twitter. Nanti kalau udah bikin yang baru, gue follow lo, ya. Nomor gue juga baru, nanti sekalian gue chat lo deh." ujarnya menambahkan.
ㅤ “Awas aja sampe nggak!"
ㅤ “Iya baweeeel. Dah sana gih, lo nggak takut telat apa?"
shit. gue melihat pergelangan tangan gue dan menghela napas. Masih ada sisa tiga belas menit sebelum latihan di mulai.
Setelah berpamitan dan memeluknya untuk terakhir kali, gue berjalan menuju gelanggang dengan tekad yang bulat untuk latihan keras.
Karena gue kepengen buat ada di kejuaraan Olympics, menuntaskan mimpinya kepada gue.